SEKILAS
Penderitaan senantiasa hadir dalam hidup manusia. Semua       orang pasti pernah mengalaminya. Yang berbeda adalah sikap       manusia dalam menghadapi penderitaan itu. Ada orang yang       mengambil sikap yang fatal, yaitu bunuh diri, mengakhiri       hidup. Karena merasa tidak sanggup menghadapi persoalan       hidupnya. Namun, benarkah ia tidak sanggup menghadapi       persoalannya? Melalui pelajaran ini remaja diajak untuk       tidak cepat putus asa, apalagi ingin mengakhiri hidupnya,       ketika beban hidup menimpa hidup mereka. Sebab mereka pasti       mampu mengatasinya bersama dengan Tuhan.
                                      PENJELASAN TEKS
Kisah Ayub, dengan penderitaan yang dialaminya, seringkali       dijadikan referensi bagaimana seharusnya orang beriman       menghadapi penderitaan. Biasanya penekanan seringkali       diambil dari akhir kitab Ayub, di mana keadaannya kemudian       dipulihkan (42:7-17). Pergumulan Ayub sendiri, yang       memunculkan sikap putus asanya, kurang disoroti. Padahal       justru melalui pergumulan Ayub, kita dapat menemukan       nilai-nilai yang menarik dalam kita menghadapi penderitaan.
Penderitaan dalam hidup Ayub
Dalam cerita Ayub, diperlihatkan bahwa penderitaan Ayub       sangat luar biasa. Ia kehilangan harta bendanya (1:13-17),       dan juga kehilangan anak-anaknya (1:18-19). Ayub sendiri pun       mengalami penyakit barah, borok yang menyelubungi seluruh       tubuhnya (2:7-8). Penderitaan itu makin bertambah ketika       sang istri tidak memberikan dukungan terhadap derita yang       dialaminya (2:9-10). Memang kemudian datang tiga sahabat       Ayub: Elifas, Bildad, dan Zofar yang memberi kekuatan pada       Ayub (2:11-13). Akan tetapi dalam dialog selanjutnya, mereka       justru menyalah-nyalahkan Ayub. Mereka datang untuk       menghakimi Ayub (lihat mulai pasal 4).
Sikap Ayub
Pada awalnya, Ayub mencoba menerima penderitaan dalam       hidupnya (1:20-21). Kehilangan yang bertubi-tubi dan       beruntun dalam hidupnya, tentu saja membuatnya bersedih. Ini       ditunjukkan dengan sikap mengoyak jubah dan menggunduli       kepalanya. Cara yang ditunjukkannya itu lazim dilakukan       orang-orang pada jaman Ayub untuk menyikapi penderitaan       dalam hidup mereka. Tetapi Ayub juga menunjukkan sikap yang       tegar, Katanya, "Dengan telanjang aku keluar dari rahim       ibuku dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya.       Tuhan yang memberi Tuhan yang mengambil, terpujilah nama       Tuhan." (ay. 21).
Ketegaran Ayub dalam menghadapi penderitaan dalam hidupnya       juga ada batasnya. Karena itu ia meratap ingin mati saja       rasanya (3:1-19). Ayub juga manusia. Setelah kehilangan       harta benda, anak-anaknya, dan dukungan istrinya, ia mulai       menyesali hidupnya. Kalau hidupnya hanyalah berupa rangkaian       penderitaan dan kehilangan. Mengapa Tuhan mengijinkan ia       hidup? Ia menyesali hari kelahirannya bahkan juga menyesali       kegembiraan yang menyertai kehadirannya di dunia. Seandainya       itu semua tidak ada, tentu akan lebih baik (ay. 1-7). Ayub       juga  menyesali mengapa ia hidup sewaktu dilahirkan,       mengapa ada pangkuan yang merawatnya, mengapa ada buah dada       yang menghidupinya. Seandainya itu semua tidak ada maka ia       sudah tenang dalam istirahat (ay.11-13).
Sikap Ayub ini seakan-akan mewakili sikap umat manusia dalam       menyikapi penderitaan yang sering dialami oleh manusia.       Menyesali kehidupan yang sudah terangkai dan terjalani. Buat       apa itu semua terjadi kalau pada akhirnya penderitaan yang       harus mereka tanggung. Sungguh tidak mudah untuk tetap bisa       menerima penderitaan yang menimpa hidup ini dengan hati yang       selalu bersyukur. Karena itu, kerap orang mengambil jalan       pintas, mengakhiri hidup. Benarkah hanya kematian yang akan       menyelesaikan pergumulan dan penderitaan manusia? Tidak!
Kisah Ayub di bagian menjelang akhir justru menunjukkan       sikap yang perlu ditiru.
Dalam 39:34-38, Ayub mengakui kalau dirinya adalah ciptaan.       Setelah melewati refleksi yang panjang, Ayub sampai pada       sebuah pemahaman: dirinya ciptaan yang rapuh. Itu kenyataan       hidup kita. Ayub belajar menerima dirinya. Manusia adalah       ciptaan yang rapuh. Kekuatan justru bukan pada dirinya,       tetapi justru bukan pada dirinya tetapi pada Tuhan. Oleh       karena itu, sebuah ciptaan harus berpaut pada PENCIPTA-nya.
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar