Minggu, 14 November 2010

Manusia Dan Penderitaan

SEKILAS
Penderitaan senantiasa hadir dalam hidup manusia. Semua orang pasti pernah mengalaminya. Yang berbeda adalah sikap manusia dalam menghadapi penderitaan itu. Ada orang yang mengambil sikap yang fatal, yaitu bunuh diri, mengakhiri hidup. Karena merasa tidak sanggup menghadapi persoalan hidupnya. Namun, benarkah ia tidak sanggup menghadapi persoalannya? Melalui pelajaran ini remaja diajak untuk tidak cepat putus asa, apalagi ingin mengakhiri hidupnya, ketika beban hidup menimpa hidup mereka. Sebab mereka pasti mampu mengatasinya bersama dengan Tuhan.

PENJELASAN TEKS
Kisah Ayub, dengan penderitaan yang dialaminya, seringkali dijadikan referensi bagaimana seharusnya orang beriman menghadapi penderitaan. Biasanya penekanan seringkali diambil dari akhir kitab Ayub, di mana keadaannya kemudian dipulihkan (42:7-17). Pergumulan Ayub sendiri, yang memunculkan sikap putus asanya, kurang disoroti. Padahal justru melalui pergumulan Ayub, kita dapat menemukan nilai-nilai yang menarik dalam kita menghadapi penderitaan.

Penderitaan dalam hidup Ayub
Dalam cerita Ayub, diperlihatkan bahwa penderitaan Ayub sangat luar biasa. Ia kehilangan harta bendanya (1:13-17), dan juga kehilangan anak-anaknya (1:18-19). Ayub sendiri pun mengalami penyakit barah, borok yang menyelubungi seluruh tubuhnya (2:7-8). Penderitaan itu makin bertambah ketika sang istri tidak memberikan dukungan terhadap derita yang dialaminya (2:9-10). Memang kemudian datang tiga sahabat Ayub: Elifas, Bildad, dan Zofar yang memberi kekuatan pada Ayub (2:11-13). Akan tetapi dalam dialog selanjutnya, mereka justru menyalah-nyalahkan Ayub. Mereka datang untuk menghakimi Ayub (lihat mulai pasal 4).

Sikap Ayub
Pada awalnya, Ayub mencoba menerima penderitaan dalam hidupnya (1:20-21). Kehilangan yang bertubi-tubi dan beruntun dalam hidupnya, tentu saja membuatnya bersedih. Ini ditunjukkan dengan sikap mengoyak jubah dan menggunduli kepalanya. Cara yang ditunjukkannya itu lazim dilakukan orang-orang pada jaman Ayub untuk menyikapi penderitaan dalam hidup mereka. Tetapi Ayub juga menunjukkan sikap yang tegar, Katanya, "Dengan telanjang aku keluar dari rahim ibuku dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan." (ay. 21).
Ketegaran Ayub dalam menghadapi penderitaan dalam hidupnya juga ada batasnya. Karena itu ia meratap ingin mati saja rasanya (3:1-19). Ayub juga manusia. Setelah kehilangan harta benda, anak-anaknya, dan dukungan istrinya, ia mulai menyesali hidupnya. Kalau hidupnya hanyalah berupa rangkaian penderitaan dan kehilangan. Mengapa Tuhan mengijinkan ia hidup? Ia menyesali hari kelahirannya bahkan juga menyesali kegembiraan yang menyertai kehadirannya di dunia. Seandainya itu semua tidak ada, tentu akan lebih baik (ay. 1-7). Ayub juga  menyesali mengapa ia hidup sewaktu dilahirkan, mengapa ada pangkuan yang merawatnya, mengapa ada buah dada yang menghidupinya. Seandainya itu semua tidak ada maka ia sudah tenang dalam istirahat (ay.11-13).
Sikap Ayub ini seakan-akan mewakili sikap umat manusia dalam menyikapi penderitaan yang sering dialami oleh manusia. Menyesali kehidupan yang sudah terangkai dan terjalani. Buat apa itu semua terjadi kalau pada akhirnya penderitaan yang harus mereka tanggung. Sungguh tidak mudah untuk tetap bisa menerima penderitaan yang menimpa hidup ini dengan hati yang selalu bersyukur. Karena itu, kerap orang mengambil jalan pintas, mengakhiri hidup. Benarkah hanya kematian yang akan menyelesaikan pergumulan dan penderitaan manusia? Tidak!
Kisah Ayub di bagian menjelang akhir justru menunjukkan sikap yang perlu ditiru.
Dalam 39:34-38, Ayub mengakui kalau dirinya adalah ciptaan. Setelah melewati refleksi yang panjang, Ayub sampai pada sebuah pemahaman: dirinya ciptaan yang rapuh. Itu kenyataan hidup kita. Ayub belajar menerima dirinya. Manusia adalah ciptaan yang rapuh. Kekuatan justru bukan pada dirinya, tetapi justru bukan pada dirinya tetapi pada Tuhan. Oleh karena itu, sebuah ciptaan harus berpaut pada PENCIPTA-nya.

Manusia dan Penderitaan

SEKILAS
Penderitaan senantiasa hadir dalam hidup manusia. Semua orang pasti pernah mengalaminya. Yang berbeda adalah sikap manusia dalam menghadapi penderitaan itu. Ada orang yang mengambil sikap yang fatal, yaitu bunuh diri, mengakhiri hidup. Karena merasa tidak sanggup menghadapi persoalan hidupnya. Namun, benarkah ia tidak sanggup menghadapi persoalannya? Melalui pelajaran ini remaja diajak untuk tidak cepat putus asa, apalagi ingin mengakhiri hidupnya, ketika beban hidup menimpa hidup mereka. Sebab mereka pasti mampu mengatasinya bersama dengan Tuhan.

PENJELASAN TEKS
Kisah Ayub, dengan penderitaan yang dialaminya, seringkali dijadikan referensi bagaimana seharusnya orang beriman menghadapi penderitaan. Biasanya penekanan seringkali diambil dari akhir kitab Ayub, di mana keadaannya kemudian dipulihkan (42:7-17). Pergumulan Ayub sendiri, yang memunculkan sikap putus asanya, kurang disoroti. Padahal justru melalui pergumulan Ayub, kita dapat menemukan nilai-nilai yang menarik dalam kita menghadapi penderitaan.

Penderitaan dalam hidup Ayub
Dalam cerita Ayub, diperlihatkan bahwa penderitaan Ayub sangat luar biasa. Ia kehilangan harta bendanya (1:13-17), dan juga kehilangan anak-anaknya (1:18-19). Ayub sendiri pun mengalami penyakit barah, borok yang menyelubungi seluruh tubuhnya (2:7-8). Penderitaan itu makin bertambah ketika sang istri tidak memberikan dukungan terhadap derita yang dialaminya (2:9-10). Memang kemudian datang tiga sahabat Ayub: Elifas, Bildad, dan Zofar yang memberi kekuatan pada Ayub (2:11-13). Akan tetapi dalam dialog selanjutnya, mereka justru menyalah-nyalahkan Ayub. Mereka datang untuk menghakimi Ayub (lihat mulai pasal 4).

Sikap Ayub
Pada awalnya, Ayub mencoba menerima penderitaan dalam hidupnya (1:20-21). Kehilangan yang bertubi-tubi dan beruntun dalam hidupnya, tentu saja membuatnya bersedih. Ini ditunjukkan dengan sikap mengoyak jubah dan menggunduli kepalanya. Cara yang ditunjukkannya itu lazim dilakukan orang-orang pada jaman Ayub untuk menyikapi penderitaan dalam hidup mereka. Tetapi Ayub juga menunjukkan sikap yang tegar, Katanya, "Dengan telanjang aku keluar dari rahim ibuku dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan." (ay. 21).
Ketegaran Ayub dalam menghadapi penderitaan dalam hidupnya juga ada batasnya. Karena itu ia meratap ingin mati saja rasanya (3:1-19). Ayub juga manusia. Setelah kehilangan harta benda, anak-anaknya, dan dukungan istrinya, ia mulai menyesali hidupnya. Kalau hidupnya hanyalah berupa rangkaian penderitaan dan kehilangan. Mengapa Tuhan mengijinkan ia hidup? Ia menyesali hari kelahirannya bahkan juga menyesali kegembiraan yang menyertai kehadirannya di dunia. Seandainya itu semua tidak ada, tentu akan lebih baik (ay. 1-7). Ayub juga  menyesali mengapa ia hidup sewaktu dilahirkan, mengapa ada pangkuan yang merawatnya, mengapa ada buah dada yang menghidupinya. Seandainya itu semua tidak ada maka ia sudah tenang dalam istirahat (ay.11-13).
Sikap Ayub ini seakan-akan mewakili sikap umat manusia dalam menyikapi penderitaan yang sering dialami oleh manusia. Menyesali kehidupan yang sudah terangkai dan terjalani. Buat apa itu semua terjadi kalau pada akhirnya penderitaan yang harus mereka tanggung. Sungguh tidak mudah untuk tetap bisa menerima penderitaan yang menimpa hidup ini dengan hati yang selalu bersyukur. Karena itu, kerap orang mengambil jalan pintas, mengakhiri hidup. Benarkah hanya kematian yang akan menyelesaikan pergumulan dan penderitaan manusia? Tidak!
Kisah Ayub di bagian menjelang akhir justru menunjukkan sikap yang perlu ditiru.
Dalam 39:34-38, Ayub mengakui kalau dirinya adalah ciptaan. Setelah melewati refleksi yang panjang, Ayub sampai pada sebuah pemahaman: dirinya ciptaan yang rapuh. Itu kenyataan hidup kita. Ayub belajar menerima dirinya. Manusia adalah ciptaan yang rapuh. Kekuatan justru bukan pada dirinya, tetapi justru bukan pada dirinya tetapi pada Tuhan. Oleh karena itu, sebuah ciptaan harus berpaut pada PENCIPTA-nya.