Indonesia  adalah salah satu negara yang memiliki suku dan budaya yang beraneka  ragam. Masing-masing budaya daerah saling mempengaruhi dan dipengaruhi  oleh kebudayaan daerah lain maupun kebudayaan yang berasal dari luar Indonesia.  Salah satu kebudayaan tersebut adalah kebudayaan Aceh. Sejarah dan  perkembangan suku bangsa Aceh juga menarik perhatian para antropolog  seperti Snouck Hurgronje. Dilihat dari sisi kebudayaannya, Aceh memiliki  budaya yang unik dan beraneka ragam. Kebudayaan Aceh ini banyak  dipengaruhi oleh budaya-budaya melayu, karena letak Aceh yang strategis  karena merupakan jalur perdagangan maka masuklah kebudayaan Timur  Tengah. Beberapa budaya yang ada sekarang adalah hasil dari akulturasi antara budaya melayu, Timur Tengah dan Aceh sendiri.
Suku  bangsa yang mendiami Aceh merupakan keturunan orang-orang melayu dan  Timur Tengah hal ini menyebabkan wajah-wajah orang Aceh berbeda dengan  orang Indonesia yang berada di lain wilayah. Sistem kemasyarakatan suku  bangsa Aceh, mata pencaharian sebagian besar masyarakat Aceh adalah  bertani namun tidak sedikit juga yang berdagang. Sistem kekerabatan  masyarakat Aceh mengenal Wali, Karong dan Kaom yang merupakan bagian  dari sistem kekerabatan.
Agama  Islam adalah agama yang paling mendominasi di Aceh oleh karena itu Aceh  mendapat julukan ”Serambi Mekah”. Dari struktur masyarakat Aceh dikenal  gampong, mukim, nanggroe dan sebagainya. Tetapi pada saat-saat sekarang  ini upacara ceremonial yang besar-besaran hanya sebagai simbol sehingga  inti dari upacara tersebut tidak tercapai. Pergeseran nilai kebudayaan  tersebut terjadi karena penjajahan dan fakttor lainnya.
Dari  hal-hal yang telah diuraikan diatas menurut saya menarik, maka saya  mengangkat makalah ini dengan judul ”Kebudayaan Suku Aceh”.
A. LETAK
            Kelompok  etnik Aceh adalah salah satu kelompok "asal" di daerah Aceh yang kini  merupakan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Orang Aceh yang biasa  menyebut dirinya Ureueng Aceh, menurut sensus penduduk tahun 1990  mencatat jumlah sebesar 3.415.393 jiwa, dimana orang Aceh tentunya  merupakan kelompok mayoritas. Orang Aceh merupakan penduduk asli yang  tersebar populasinya di Daerah Istimewa Aceh. Mereka mendiami  daerah-daerah Kotamadya Sabang, Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Pidie,  Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Selatan, dan Aceh Barat. Bahasa yang  digunakan orang Aceh termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia  yang terdiri dari beberapa dialek, antara lain dialek Pidie, Aceh  Besar, Meulaboh, serta Matang. Di Propinsi D.I. Aceh terdapat pula  sedikitnya tujuh sukubangsa lainnya, yaitu : Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk  Jamee, Simeuleu, Kluet, dan Gumbok Cadek. Identitas bersama berdasarkan  ikatan kebudayaan dan agama mencerminkan kesatuan suku-suku bangsa di  propinsi ini. Dalam pergaulan antarsuku bangsa jarang sekali penduduk  asli Aceh menyebut dirinya orang Gayo, Alas, Tamiang, dan seterusnya.  Mereka lebih suka menyebut diri sebagai "Orang Aceh", sehingga Aceh  patut dipandang sebagai suatu sukubangsa besar yang didukung oleh  sejumlah sub-sukubangsa dengan identitas masing-masing. Ciri-ciri ini  pula yang mengukuhkan propinsi Aceh sebagai Daerah Istimewa.
B. KEHIDUPAN MASYARAKAT
1. Mata Pencaharian
            Mata  pencaharian pokok orang Aceh adalah bertani di sawah dan ladang, dengan  tanaman pokok berupa padi, cengkeh, lada, pala, kelapa, dan lain-lain.  Masyarakat yang bermukim_ di sepanjang pantai pada umumnya menjadi  nelayan.
            Sebagian  besar orang Alas hidup dari pertanian di sawah atau ladang, terutama  yang bermukim di kampung (kute). Tanam Alas merupakan lumbung padi di  Daerah Istimewa Aceh. Di samping itu penduduk beternak kuda, kerbau,  sapi, dan kambing, untuk dijual atau dipekerjakan di sawah.
            Mata  pencaharian utama orang Aneuk Jamee adalah bersawah, berkebun, dan  berladang, serta mencari ikan bagi penduduk yang tinggal di daerah  pantai. Di samping itu ada yang melakukan kegiatan berdagang secara  tetap (baniago), salah satunya dengan cara menjajakan barang dagangan  dari kampung ke kampung (penggaleh). Matapencaharian pada masyarakat Gayo yang dominan adalah berkebun, terutama tanaman kopi.
            Matapencaharian  utama orang Tamiang adalah bercocok tanam padi di sawah atau di ladang.  Penduduk yang berdiam di daerah pantai menangkap ikan dan membuat aran  dari pohon bakau. Adapula yang menjadi buruh perkebunan atau pedagang.
2. Sistem Kekerabatan
            Dalam  sistem kekerabatan, bentuk kekerabatan yang terpenting adalah keluarga  inti dengan prinsip keturunan bilateral. Adat menetap sesudah menikah  bersifat matrilokal, yaitu tinggal di rumah orangtua istri selama  beberapa waktu. Sedangkan anak merupakan tanggung jawab ayah sepenuhnya.
            Pada  orang Alas garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal atau  menurut garis keturunan laki-laki. Sistem perkawinan yang berlaku  adalah eksogami merge, yaitu mencari jodoh dari luar merge sendiri. Adat  menetap sesudah menikah yang berlaku bersifat virilokal, yang terpusat  di kediaman keluarga pihak laki-laki. Gabungan dari beberapa keluarga  luas disebut tumpuk. Kemudian beberapa tumpuk bergabung membentuk suatu  federasi adat yang disebut belah (paroh masyarakat).
Dalam  sistem kekerabatan tampaknya terdapat kombinasi antara budaya  Minangkabau dan Aceh. Garis keturunan diperhitungkan berdasarkan prinsip  bilateral, sedangkan adat menetap sesudah nikah adalah uxorilikal  (tinggal dalam lingkungan keluarga pihak wanita). Kerabat pihak ayah  mempunyai kedudukan yang kuat dalam hal pewarisan dan perwalian,  sedangkan ninik mamak berasal dari kerabat pihak ibu. Kelompok  kekerabatan yang terkecil adalah keluarga inti yang disebut rumah  tanggo. Ayah berperan sebagai kepala keluarga yang mempunyai kewajiban  memenuhi kebutuhan keluarganya. Tanggung jawab seorang ibu yang utama  adalah mengasuh anak dan mengatur rumah tangga.
Pada  masyarakat gayo, garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip  patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah  eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokal  (juelen) atau matriokal (angkap). Kelompok kekerabatan terkecil disebut  saraine (keluarga inti). Kesatuan beberapa keluarga inti disebut sara  dapur. Pada masa lalu beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah  rumah panjang, sehingga disebut sara umah. Beberapa buah rumah panjang  bergabung ke dalam satu belah (klen).
Dalam  sistem kekerabatan masyarakat Tamiang digunakan prinsip patrilineal,  yaitu menarik garis keturunan berdasarkan garislaki-laki. Adat menetap  sesudah nikah yang umum dilakukan adalah adat matrilokal, yaitu  bertempat tinggal di lingkungan kerabat wanita.
3. Sistem Pelapisan Sosial
            Pada  masa lalu masyarakat Aceh mengenal beberapa lapisan sosial. Di  antaranya ada empat golongan masyarakat, yaitu golongan keluarga sultan,  golongan uleebalang, golongan ulama, dan golongan rakyat biasa.  Golongan keluarga sultan merupakan keturunan bekas sultan-sultan yang  pernah berkuasa. Panggilan yang lazim untuk keturunan sultan ini adalah  ampon untuk laki-laki, dan cut untuk perempuan. Golongan uleebalang  adalah orang-orang keturunan bawahan para sultan yang menguasai  daerah-daerah kecil di bawah kerajaan. Biasanya mereka bergelar Teuku.  Sedangkan para ulama atau pemuka agama lazim disebut Teungku atau  Tengku.
Pada  masa lalu orang Aneuk Jamee dibedakan atas tiga lapisan masyarakat,  yaitu golongan datuk sebagai lapisan atas; golongan hulubalang dan  ulama, yang terdiri atas tuangku, imam, dan kadi sebagai lapisan  menengah; dan rakyat biasa sebagai lapisan bawah. Sekarang ini sistem  pelapisan sosial tersebut sudah tidak diberlakukan lagi dalam  masyarakat. Yang kini dianggap sebagai orang terpandang adalah orang  kaya, terdidik, dan pemegang kekuasaan.
            Pada  masa masyarakat Tamiang dikenal penggolongan masyarakat atas tiga  lapisan sosial, yakni ughang bangsawan, ughang patoot, dan ughang  bepake. Golongan pertama terdiri atas raja beserta keturunannya. yang  menggunakan gelar Tengku untuk laki-laki dan Wan untuk perempuan;  golongan kedua adalah orangĂ‚orang yang memperoleh hak dan kekuasaan  tertentu dari raja, yang memperoleh gelar Orang (Kaya); dan golongan  ketiga merupakan golongan orang kebanyakan.
C. SISTEM KEMASYARAKATAN
            Bentuk  kesatuan hidup setempat yang terkecil disebut gampong (kampung atau  desa) yang dikepalai oleh seorang geucik atau kecik. Dalam setiap  gampong ada sebuah meunasah (madrasah) yang dipimpin seorang imeum  meunasah. Kumpulan dari beberapa gampong disebut mukim yang dipimpin  oleh seorang uleebalang, yaitu para panglima yang berjasa kepada sultan.  Kehidupan sosial dan keagamaan di setiap gampong dipimpin oleh  pemuka-pemuka adat dan agama, seperti imeum meunasah, teungku khatib,  tengku bile, dan tuha peut (penasehat adat).
Pada  masa lalu Tanah Alas terbagi atas dua daerah kekuasaan yang dipimpin  oleh dua orang kejerun, yaitu daerah Kejerun Batu Mbulan dan daerah  Kejerun Bambel. Kejerun dibantu oleh seorang wakil yang disebut Raje  Mude, dan empat unsur pimpinan yang disebut Raje Berempat. Setiap unsur  pimpinan Raje Berempat membawahi beberapa kampung atau desa (Kute),  sedangkan masing-masing kute dipimpin oleh seorang Pengulu. Suatu kute biasanya dihuni oleh satu atau beberapa klen (merge). Masing-masing keluarga luas menghuni sebuah rumah panjanga.
Masyarakat  Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong. Setiap kampong  dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut  kemukiman, yang dipimpin oleh mukim. Sistem pemerintahan tradisional  berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat, terdiri dari : reje,  petue, imeum, dan sawudere. Pada masa sekarang beberapa buah kemukiman  merupakan bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan terdiri  atas: gecik, wakil gecik, imeum, dan cerdik pandai yang mewakili  rakyat.
D. RELIGI
Aceh  termasuk salah satu daerah yang paling awal menerima agama Islam. Oleh  sebab itu propinsi ini dikenal dengan sebutan "Serambi Mekah", maksudnya  "pintu gerbang" yang paling dekat antara Indonesia dengan tempat dari  mana agama tersebut berasal. Meskipun demikian kebudayaan asli Aceh  tidak hilang begitu saja, sebaliknya beberapa unsur kebudayaan setempat  mendapat pengaruh dan berbaur dengan kebudayaan Islam. Dengan demikian  kebudayaan hasil akulturasi tersebut melahirkan corak kebudayaan  Islam-Aceh yang khas. Di dalam kebudayaan tersebut masih terdapat  sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme.
E. BAHASA
Bahasa yang digunakan orang Aceh termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia yang terdiri dari beberapa dialek, antara lain dialek Pidie, Aceh Besar, Meulaboh, serta Matang.
Sebagai  alat komunikasi sehari-hari orang Alas menggunakan bahasa sendiri,  yaitu bahasa Alas. Penggunaan bahasa ini dibedakan atas beberapa dialek,  seperti dialek Hulu, dialek Tengah, dan dialek Hilir. Dengan demikian  orang Alas dibedakan berdasarkan penggunaan dialek bahasa tersebut.
Dilihat  dari segi bahasa, kosa kata bahasa Aneuk Jamee yang berasal dari bahasa  Minangkabau lebih dominasi daripada kosa kata bahasa Aceh. Penggunaan  bahasa Aneuk Jamee dibedakan atas beberapa dialek, antara lain dialek  Samadua dan dialek Tapak Tuan.
Bahasa  Gayo digunakan dalam percakapaan sehari-hari. Penggunaan bahasa Gayo  dibedakan atas beberapa dialek, seperti dialek Gayo Laut yang terbagi  lagi menjadi sub-dialek Lut dan Deret, dan dialek Gayo Luwes yang  meliputi sub-dialek Luwes, Kalul, dan Serbejadi.
Orang  Tamiang memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa Tamiang, yang kebanyakan  kosa katanya mirip dengan bahasa melayu. Bahkan ada yang mengatakan,  bahwa bahasa Tamiang merupakan salah satu dialek dari bahasa Melayu.  Bahasa Tamiang ditandai oleh mengucapkan huruf r menjadi gh, misalnya  kata "orang" dibaca menjadi oghang. Sementara itu huruf t sering c, misalnya kata "tiada" dibaca "ciade".
F. KESENIAN
Corak  kesenian Aceh memang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam, namun  telah diolah dan disesuaikan dengan nilai-nilai budaya yang berlaku. Seni  tari yang terkenal dari Aceh antara lain seudati, seudati inong, dan  seudati tunang. Seni lain yang dikembangkan adalah seni kaligrafi Arab,  seperti yang banyak terlihat pada berbagai ukiran mesjid, rumah adat,  alat upacara, perhiasan, dan sebagainnya. Selain itu berkembang seni  sastra dalam bentuk hikayat yang bernafaskan Islam, seperti Hikayat  Perang Sabil.
Bentuk-bentuk  kesenian Aneuk Jamee berasal dari dua budaya yang berasimilasi.. Orang  Aneuk Jamee mengenal kesenian seudati, dabus (dabuih), dan ratoh yang  memadukan unsur tari, musik, dan seni suara. Selain itu dikenal kaba,  yaitu seni bercerita tentang seorang tokoh yang dibumbui dengan dongeng.
Suatu  unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah  kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung  berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tan saman  dan seni teater yang disebut didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi,  bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan,  penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan  dan struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian  bines, guru didong, dan melengkap (seni berpidato berdasarkan adat),  yang juga tidak terlupakan dari masa ke masa.
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar